Wednesday 2 December 2015

Cerpen-Iblis Adalah Anakku

Iblis Adalah Anakku

karya Alfanani A 

 

Aku adalah seorang bapak. Seorang bapak yang saat ini tengah kehilangan keluarganya.
Jangan tanya istri dan mertuaku, sebab mereka hanya mencintai uangku, bukan diriku yang apa adanya dan buah hati hasil pernikahanku. Aku lebih senang menceritakan anakku. Ya. Anak yang selalu didambakan kelahiranya oleh setiap bapak. Anak yang selalu membuatku merasa dingin meski terpanggang lepas di tengah gumpalan tanah yang kian menyala merah.
Farid adalah anakku satu-satunya. Bagiku, Farid adalah anak yang sempurna, Meski tak jarang orang-orang kampung menganggapnya sebagai iblis. Aku bisa memaklumi orang-orang yang menyebut farid dengan sebutan iblis, karna wujudnya tak seperti anak manusia pada umunya.
Farid lahir dengan cacat. Ia hanya memiliki satu mata. Sedang diubun-ubunya tumbuh sepasang tulang yang kian hari kian besar hingga menyerupai tanduk. Bulu lebat menutupi dada dan punggungnya. Tangan dan kakinya besar. 
“Dia bukan anakku, dia Iblis,” kata istriku, sesaat setelah melahirkan Farid.
 “Persetan apa kata ibumu. kau adalah anakku,bisikku, setelah aku melafaldkan adzan ditelinga anakku
Aku tidak perduli pada kata-kata istriku atau cemooh orang-orang kepada kami. Aku hanya menghawatirkan bila dia beranjak besar nanti. Aku takut farid juga tak bisa menerima kondisinya sendiri.
HARI demi hari berlalu dengan baik. Farid kurawat sendiri meski masih satu rumah dengan istri dan mertuaku. Ada perasaan risih dan jijik yang kusimak di mata mereka. Beberapa kali aku coba untuk meyakinkan istriku, agar kami bisa menerima semuanya.
“Kita sedang menjalani ujian,” Tegasku
“Ujian?” sergah istriku.                                                                                            
“Ya.
“Kenapa harus kita?”
“Sebab kita pasti bisa melewatinya.
Istriku menggebrak meja. Ia beranjak dan membanting pintu kamar sekencang-kencangnya. Mendengar keributan ini, tangis Farid pun pecah. Aku mengambil farid dan menggendongnya.
Saat kususul istriku, kulihat ia sedang berbicara serius dengan ibunya. Aku mengamatinya dari balik selambu di ruang tamu. Entah bagaimana, saat itu juga tangis Farid berhenti. Sepertinya farid juga sepakat untuk sama-sama menguping pembicaraan mereka.
“Apa kata tetangga kalau anak iblis itu masih dirumah kita?” Bisik ibu mertua pada istriku.
“Lalu bagaimana?”
“Buang.
“Buang?” Tanya istriku kaget
“Ya”
“Suamiku sangat menyayaginya, Bu”
“Apa kau tidak sayang dengan ibumu ini?”
“Tapi Bu….”
“Kau masih muda. Masih banyak lelaki tampan dan kaya di luar sana.
Aku menangis mendengarnya. Saat itu juga, bersama anakku, aku putuskan untuk meninggalkan rumah istriku. Aku kembali kerumahku sendiri. Tepatnya, rumah peninggalan almarhum bapak ibuku. Letaknya di sebuah desa di pedalaman. Dan hanya ada beberapa rumah warga, Lumbung padi dan kandang sapi. Jarak dari rumah satu dengan rumah lain juga tidak dekat. Aku dan farid akan sedikit tenang. Tanpa terusik oleh kata-kata iblis lagi.
Aku besarkan farid dengan kasih sayang seorang diri. Selain seorang bapak, aku juga berperan menjadi seorang ibu. Lama kelamaan farid pun beranjak besar. Ia mulai bisa berjalan, berlari dan bicara. Sampai suatu ketika farid bertanya tentang kondisinya. Waktu itu farid sudah berusia 15 tahun
“Kenapa aku tidak seperti teman-temanku, Pak?”
“Maksudnya?”
“Kenapa aku terlahir seperti ini?”
“Tuhan merencanakan sesuatu, Rid”
“Apa?”
Aku diam. Farid melanjutkan bertanya, “apa ada yang mau menjadi istriku dengan kondisi yang seperti ini?”
“Ada, pasti ada”
“Siapa?”
“Suatu saat tuhan pasti mengirimkan bidadari untukmu. Dan menjauhkanmu dari wanita yang berhati busuk seperti ibumu”
Aku menceritakan panjang lebar tentang ibunya. Mulai dari awal aku bertemu dan menikah hingga saat aku keluar dari rumahnya. Kulihat Farid menyimak betul kata-kataku. Ia pun memahami dan menerimanya dengan senang. Ya kulihat itu dimatanya.
“Lalu, kapan tuhan mengenalkan bidadari itu padaku pak?”
“Setelah kau benar-benar siap”
“Apa sekarang aku belum siap?”
“Hampir,” aku mengelus kepalanya, “Tidurlah nak, sudah malam”
Aku mengenakan selimut dari sarung dan menutup pintu kamarnya.
Aku terjaga sepanjang malam. Kata-kata Farid selalu muncul. Aku membayangkan suatu ketika Farid sedang bertemu dengan seorang wanita dan berharap wanita itu mau untuk hanya sekedar berkenalan. Tapi itu sangat sulit. Apalagi dijaman seperti ini. Semua harus serba perfect dimata wanita. Sedangkan anakku?

No comments: